Sebenernya ini tugas kuliah gua di makul Pendidikan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup. Tapi menurut gua, ngga ada salahnya juga kalo gua share di
blog gua ini. Semoga ada manfaatnya . Amiin :):)
Dalam pengertian
kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom)
dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan
Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan)
sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat)
dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.
1. Kearifan Lokal Masyarakat Kudus
Kulon dalam tradisi Perawatan Rumah Pencu
Keberadaan rumah tradisional di Kudus memiliki keberagaman, yaitu rumah Pencu dan rumah Payon (rumah Payon Limasan Maligi Gajah dan rumah Payon Kampung).
Persebaran rumah Pencu yang terdapat di Kudus tersebar di wilayah Kudus Kulon dan Kudus Wetan. Di Kudus Kulon kondisi eksisting rumah Pencu sekarang ini masih bisa dijumpai dengan jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan kondisi eksisting rumah Pencu di daerah Kudus Wetan. Adanya perbedaan jumlah yang sangat signifikan tersebut sangat erat kaitannya dengan perkembangan lingkungan dan tata ruang dikedua wilayah tersebut. Di Kudus Kulon kondisi lingkungannya relatif tidak banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun, sedangkan di Kudus Wetan perubahan lingkungannya begitu pesat.
Keberadaan rumah tradisional di Kudus memiliki keberagaman, yaitu rumah Pencu dan rumah Payon (rumah Payon Limasan Maligi Gajah dan rumah Payon Kampung).
Persebaran rumah Pencu yang terdapat di Kudus tersebar di wilayah Kudus Kulon dan Kudus Wetan. Di Kudus Kulon kondisi eksisting rumah Pencu sekarang ini masih bisa dijumpai dengan jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan kondisi eksisting rumah Pencu di daerah Kudus Wetan. Adanya perbedaan jumlah yang sangat signifikan tersebut sangat erat kaitannya dengan perkembangan lingkungan dan tata ruang dikedua wilayah tersebut. Di Kudus Kulon kondisi lingkungannya relatif tidak banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun, sedangkan di Kudus Wetan perubahan lingkungannya begitu pesat.
Rumah Pencu merupakan
salah satu bagian dari hasil budaya materi yang berasal dari masyarakat Kudus
pada masa lalu. Identitas mengenai tingkat budaya masyarakatnya tercermin
melalui arsitektur, ragam hias serta konsepsi yang melatarbelakangi rumah
tersebut.
Masyarakat Kudus
memiliki cara tersendiri dalam merawat rumah tinggalnya yang berupa rumah kayu
tersebut dari beberapa generasi yang lampau. Kearifan lokal tersebut terihat
dari bagaimana masyarakat Kudus mengkonservasi rumah Pencu yang berbahan
utama kayu dengan ramuan tradisional dari leluhur mereka.
Pada rumah tradisional Kudus khususnya rumah Pencu,
perawatan terhadap komponen bangunan yang sebagian besar terbuat dari bahan
kayu sangat diperhatikan. Terdapat beberap tahapan dalam prosesi perawatan dalam
rumah tradsional tersebut. Sedangkan dalam masyarakat Kudus Kulon telah
terdapat sebuah profesi yang memang khusus dalam penanganan perawatan rumah
kayu dan ukir.
Proses perawatan rumah Pencu ataupun rumah
tradisional pada dasarnya memiliki kesamaan. Proses perawatan rumah Pencu
dilakukan oleh masyarakat pemiliknya sendiri dengan cara tradisional dan
turun-temurun dari generasi ke generasi. Proses perawatan rumah tersebut menggunakan beberapa ramuan
tradisional yang biasa terdapat di lingkungan sekitar rumah atau wilayah Kudus
Kulon. Beberapa ramuan yang dipergunakan dalam perawatan rumah Pencu
adalah rendaman pelepah pisang atau lebih dikenal dengan sebutan air pelepah
pohon pisang dan tembakau (APT), air merang, dan air rendaman cengkeh (ARC).
Proses perendaman ramuan tersebut berbeda-beda
waktunya dan yang paling singkat adalah rendaman air merang dan air pelepah
daun pisang-tembakau yang rata-rata memakan waktu sekitar 7 hari, sedangkan
rendaman air cengkeh lebih dari 7 hari. Proses pencucian rumah berlangsung bisa
berlangsung 2 bulan atau lebih, hal ini disebakna oleh tingkat kemampuan
ekonomis setiap pemiliki rumah dalam memperkerjakan ahli perawatan rumah Pencu.
Menurut bapak Sariyon, salah satu orang yang berprofesi dalam merawat atau
mencuci rumah tradional Kudus atau rumah Pencu, hanya orang-orang tertentulah
yang bisa mencuci rumah Pencunya, dan biasanya setiap tahun berlangsung dua
kali proses pencuciaannya. Penggunaan ramuan tersebut terbukti efisien dan
efektif mampu mengawetkan kayu jati, bahan dasar Rumah Adat Kudus, dari
serangan rayap (termite) dan sekaligus meningkatkan pamor dan permukaan kayu
menjadi lebih bersih, karena ramuan APT dan ARC dioleskan berulang-ulang ke
permukaan dan komponen-komponen bangunan kayu jati.
2. Kearifan
Lokal Buka Luwur
Buka luwur merupakan upacara penggantian kain klambu penutup makam yang berlangsung tiap tahun. Upacara buka luwur diawali dengan penglepasan luwur lama dan dilanjutkan dengan pemasangan luwur yang baru. Upacara ini dirangkai dengan pengajian umum dan tahlil bersama.
> Buka luwur Sunan Kudus dilaksanakan setiap tanggal 10 Syuro ( 10 Muharram )
> Buka luwur Sunan Muria dilaksanakan setiap tanggal 16 Syuro
Ribuan meter luwur yang menutupi makam diganti dengan luwur baru hasil sumbangan masyarakat. Luwur lama dibagi secara gratis kepada warga sekitar, bahkan di Makam Mutamakin, luwur dilelang kepada pengunjung hingga mencapai nilai puluhan juta. Luwur paling keramat dan mempunyai nilai jual tinggi adalah yang berada di bagian nisan yang bagian kepala
Buka luwur merupakan upacara penggantian kain klambu penutup makam yang berlangsung tiap tahun. Upacara buka luwur diawali dengan penglepasan luwur lama dan dilanjutkan dengan pemasangan luwur yang baru. Upacara ini dirangkai dengan pengajian umum dan tahlil bersama.
> Buka luwur Sunan Kudus dilaksanakan setiap tanggal 10 Syuro ( 10 Muharram )
> Buka luwur Sunan Muria dilaksanakan setiap tanggal 16 Syuro
Ribuan meter luwur yang menutupi makam diganti dengan luwur baru hasil sumbangan masyarakat. Luwur lama dibagi secara gratis kepada warga sekitar, bahkan di Makam Mutamakin, luwur dilelang kepada pengunjung hingga mencapai nilai puluhan juta. Luwur paling keramat dan mempunyai nilai jual tinggi adalah yang berada di bagian nisan yang bagian kepala
- Luwur yang hanya
sebuah kain mori pada gilirannya mempunyai makna mistis di kalangan masyarakat
karena ada alunan doa dan berkah yang melekat di dalamnya. Warga melihat benda
metafisis untuk menggapai yang metafisis. Kepercayaan warga demikian sama
halnya dengan animisme maupun dinamisme, hanya saja dipisahkan oleh muatan
ilahiah pada umat muslim kekinian.
Buka luwur dalam tradisi makam-makam keramat dilakukan satu tahun sekali seperti halnya merayakan ulang tahun. Setiap makam mempunyai tanggal yang menjadi acuan. Sehingga masyarakat bisa menyiapkan diri untuk terjun sebagai relawan atau donator acara.
Dimensi sosial yang muncul dari buka luwur adalah adanya kebersamaan dan kesetiakawanan yang saat ini jarang ada. Buka luwur bisa dikategorikan sebagai pesta rakyat, karena antusias masyarakat yang mengikuti serta panitia acara. Dalam sebuah acara setidaknya melibatkan ratusan masyarakat yang turun tanpa dikomando dan dibayar dengan upah rupiah. Karena mereka akan cukup jika ada hasil sajian kuliner yang bisa dibawa pulang sebagai bagian dari ngalap berkah, serta sepotong kain luwur yang selalu disimpan untuk kepentingan pribadi.
Panitia buka luwur menerima sumbangan tidak dibatasi dari masyarakat muslim saja, warga nonmuslim pun ikut ambil alih. Panita bahkan tidak membatasi jumlah sumbangan yang diberikan, karena buka luwur adalah hajat masyarakat, maka besar kecilnya kegiatan tergantung pada masyarakat. Panitia buka luwur Makam Sunan Kudus, misalnya, tidak membuat proposal atau permohonan bantuan kepada pihak luar. Besar atau kecil acara tidak memengaruhi kekhidmatan buka luwur. Semua berjalan apa adanya sesuai dengan tradisi dan tidak dibuat-buat. Makna dan kekhusyuan menjadi taruhan.
Modal sosial yang terkuak melalui kebersamaan dan sikap saling tolong menolong merupakan aset besar dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah bangunan sosial yang akan menjadikan cerahnya masa depan kemanusiaan. Anggota masyarakat yang jauh berada dipersatukan oleh even agama untuk sekadar datang berziarah hingga ikut menyukseskan acara. Jiwa yang mempunyai kesamaan visi dan misi bertemu dan membangun jalinan kemanusiaan untuk menggapai sebuah maqam ilahiah. Sehingga buka luwu menjadikan amat berkesan dan meninggalkan keakraban sosial.
Anak muda ataupun anak-anak yang mengikuti buka luwur akan dikenalkan dengan tradisi masyarakat yang menuduhkan perawatan terhadap jalinan pesaudaraan. Meski terkadang di benak anak-anak baru sebatas perayaan agama, tetapi saat menginjak dewasa kemudian tua, akan terbersit memory purba dimana persaudaraan terjalin.
Tantangan memertahankan makna dan hikmah dari sebuah tradisi kuno yang berlangsung di zaman modern adalah gempuran pemahaman ekonomi. Dalam kaca mata industri pariwisata dan ekonomi masyarakat tradisi tersebut adalah objek penggalian keuntungan.
Dampak positif buka luwur dalam industri pariwisata sangat besar. Puluhan ribu orang dari berbagai penjuru Indonesia mengkhususkan diri datang. Wisatawan di lokasi makam keramat justru menemukan puncak wisatawan. Secara tak langsung denyut ekonomi lokal sekitar makam terangkat.
Buka luwur kemudian menjadi tradisi yang hidup berkat gairah masyarakat untuk menjaga kearifan lokal dan nilai di dalamnya. Timbal baliknya buka luwur pun menghidupi warga. Sehingga terjadi hubungan mutualisme yang menghantarkan tradisi terus berjalan.
Daya kekuatan pemersatu dari buka luwur merupakan modal sosial bagi keberlangsungan tatanan masyarakat yang saling memerhatikan. John Field dalam bukunya Modal Sosial (2010) memerlihatkan bahwa dalam masyarakat modern modal sosial telah runtuh tergantikan dengan dominasi individualism semata. Jikapun modal sosial tetap ada, hanya menjadi alat memeroleh kekuasaan atau fasilitas nyaman sekolompok orang melalui lobi-lobi tertentu. Maka kembali pada adat tradisi lokal yang sarat kearifan adalah tawaran yang mencerahkan.
Tak harus larut dalam buka luwur sebagai bentuk tunggal, membumikan sikap saling peduli bisa diciptakan dalam ruang privat ataupun publik secara berbarengan. Buka luwur menawarkan keterkaitan sosial lintas batas.
3. Kearifan
Lokal Kupatan dan Syawalan
Di setiap perayaan hari raya Lebaran, dimana umat muslim selesai menjalankan puasa selama satu bulan penuh, kita dapat menemukan ketupat hampir di setiap rumah yang merayakannya. Makanan yang terbuat dari beras dan dimasak dalam balutan daun kelapa ini memang identik dengan lebaran. Dengan sajian pendamping sayur opor, ketupat selalu menghiasi meja-meja pada perayaan idul fitri.
Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah, yakni nafsu emosional ; aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar ; supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri.
Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama berpuasa. Jadi, dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut. Tradisi syawalan yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu, kini dilestarikan oleh organisasi-organisasi Islam, maupun instansi pemerintah dan swasta dengan istilah halal bihalal. Menariknya, peserta halal bihalal, tidak hanya umat Islam, tetapi seluruh warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama, suku, ras dan golongan
Tradisi itu bukan lagi milik umat Islam dan masyarakat Jawa saja, tetapi menjadi milik segenap bangsa Indonesia. Tradisi ini juga kaya dengan kearifan dan kesalehan yang relevan dengan konteks kekinian. Ia bisa diartikan sebagai hubungan antarmanusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang, plus mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Maka, berhalal bihalal, mestinya tidak semata-mata dengan memaafkan melalui perantara lisan atau kartu ucapan selamat saja, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain khususnya yang diajak berhalal bihalal. Syawalan juga merekatkan persatuan dan kesatuan, dan mendorong orang untuk jujur.
Adanya kerelaan untuk saling memaafkan, sudah membuktikan mencairnya individualitas, strata sosial, egoisme, sektarian dan sebagainya. Orang juga dituntut untuk jujur, mau mengakui kesalahan dan lantas meminta maaf. Kejujuran dan kerelaan hati untuk memaafkan ini, merupakan terapi psikologis yang sangat ampuh bagi setiap orang. Pasalnya, dengan lepas dan hilangnya dosa-dosa, orang akan merasa damai, tenang dan tentram.
Pada akhirnya, dalam masyarakat yang kian terkepung aneka kepentingan primordial atau kepentingan yang mengatasnamakan apa pun yang eksploitatif dan tiranik, penuh konflik kepentingan bahkan sampai pertikaian atau perang, Idul Fitri dengan tradisi syawalannya, diharapkan mampu menghadirkan kesejukan, keharmonisan, dan obat-obat kemanusiaan lainnya.
Tradisi kupatan berasal dari jaman para wali yang juga menyebarluaskan agama islam di wilayah Jawa. Kalau melihat dari katanya, kupatan sendiri berasal dari kata kupat yang dalam bahasa jawa bermakna “ngaku lepat” atau mengaku salah. Sebenarnya tradisi ini pada masa dulu dilaksanakan pada hari ke-37 atau sesudah puasa yang ke-36. Kupatan dilaksanakan di berbagai daerah antara lain di Bulusan Desa Hadipolo (Kec. Jekulo), Desa Kesambi (Kec. Mejobo), Sendang Jodo Desa Purworejo (Kec. Bae).
Di setiap perayaan hari raya Lebaran, dimana umat muslim selesai menjalankan puasa selama satu bulan penuh, kita dapat menemukan ketupat hampir di setiap rumah yang merayakannya. Makanan yang terbuat dari beras dan dimasak dalam balutan daun kelapa ini memang identik dengan lebaran. Dengan sajian pendamping sayur opor, ketupat selalu menghiasi meja-meja pada perayaan idul fitri.
Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah, yakni nafsu emosional ; aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar ; supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri.
Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama berpuasa. Jadi, dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut. Tradisi syawalan yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu, kini dilestarikan oleh organisasi-organisasi Islam, maupun instansi pemerintah dan swasta dengan istilah halal bihalal. Menariknya, peserta halal bihalal, tidak hanya umat Islam, tetapi seluruh warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama, suku, ras dan golongan
Tradisi itu bukan lagi milik umat Islam dan masyarakat Jawa saja, tetapi menjadi milik segenap bangsa Indonesia. Tradisi ini juga kaya dengan kearifan dan kesalehan yang relevan dengan konteks kekinian. Ia bisa diartikan sebagai hubungan antarmanusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang, plus mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Maka, berhalal bihalal, mestinya tidak semata-mata dengan memaafkan melalui perantara lisan atau kartu ucapan selamat saja, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain khususnya yang diajak berhalal bihalal. Syawalan juga merekatkan persatuan dan kesatuan, dan mendorong orang untuk jujur.
Adanya kerelaan untuk saling memaafkan, sudah membuktikan mencairnya individualitas, strata sosial, egoisme, sektarian dan sebagainya. Orang juga dituntut untuk jujur, mau mengakui kesalahan dan lantas meminta maaf. Kejujuran dan kerelaan hati untuk memaafkan ini, merupakan terapi psikologis yang sangat ampuh bagi setiap orang. Pasalnya, dengan lepas dan hilangnya dosa-dosa, orang akan merasa damai, tenang dan tentram.
Pada akhirnya, dalam masyarakat yang kian terkepung aneka kepentingan primordial atau kepentingan yang mengatasnamakan apa pun yang eksploitatif dan tiranik, penuh konflik kepentingan bahkan sampai pertikaian atau perang, Idul Fitri dengan tradisi syawalannya, diharapkan mampu menghadirkan kesejukan, keharmonisan, dan obat-obat kemanusiaan lainnya.
Tradisi kupatan berasal dari jaman para wali yang juga menyebarluaskan agama islam di wilayah Jawa. Kalau melihat dari katanya, kupatan sendiri berasal dari kata kupat yang dalam bahasa jawa bermakna “ngaku lepat” atau mengaku salah. Sebenarnya tradisi ini pada masa dulu dilaksanakan pada hari ke-37 atau sesudah puasa yang ke-36. Kupatan dilaksanakan di berbagai daerah antara lain di Bulusan Desa Hadipolo (Kec. Jekulo), Desa Kesambi (Kec. Mejobo), Sendang Jodo Desa Purworejo (Kec. Bae).
4. Kearifan
Lokal Dandangan
Dandangan yaitu tradisi menyambut datangnya Bulan Ramadhan / bulan puasa yang dilaksanakan di sekitar Menara Kudus. Puncak acara adalah pada malam 1 Ramadhan. Masyarakat berkumpul di sekitar Masjid Menara Kudus untuk mendengarkan pengumuman dan bedug yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda dimulainya ibadah puasa keesokan harinya. Banyaknya masyarakat yang berkumpul tersebut dimanfaatkan para pedagang kecil dan mainan anak-anak untuk menjajakan dagangannya.
Dandangan yaitu tradisi menyambut datangnya Bulan Ramadhan / bulan puasa yang dilaksanakan di sekitar Menara Kudus. Puncak acara adalah pada malam 1 Ramadhan. Masyarakat berkumpul di sekitar Masjid Menara Kudus untuk mendengarkan pengumuman dan bedug yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda dimulainya ibadah puasa keesokan harinya. Banyaknya masyarakat yang berkumpul tersebut dimanfaatkan para pedagang kecil dan mainan anak-anak untuk menjajakan dagangannya.
5. Kearifan
Lokal Ampyang Maulid
Ampyang merupakan salah satu acara tradisional yang bertujuan untuk memperingati hari kelahiran Nabi besarMuhammad SAW. Ampyang dilaksanakan di Desa Loram Kulon.Berdasaran cerita, ampyang adalah sejenis krupuk bentuk bulat dan beraneka warna yang dijadikan hiasan tempat makan dari bambu ( didalamnya terdapat nasi dan lauk pauk ) diusung ke Masjid Wali At Taqwa Loram Kulon.
Ampyang merupakan salah satu acara tradisional yang bertujuan untuk memperingati hari kelahiran Nabi besarMuhammad SAW. Ampyang dilaksanakan di Desa Loram Kulon.Berdasaran cerita, ampyang adalah sejenis krupuk bentuk bulat dan beraneka warna yang dijadikan hiasan tempat makan dari bambu ( didalamnya terdapat nasi dan lauk pauk ) diusung ke Masjid Wali At Taqwa Loram Kulon.
6. Kearifan
Lokal Sewu Kupat
Sewu Kupat merupakan tradisi masyarakat Desa Colo untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri. Pelaksanaan tradisi setelah 1 minggu hari raya idul fitri. Kegiatan ini diadakan atas dasar rasa syukur masyarakat Colo yang telah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.
Sewu Kupat merupakan tradisi masyarakat Desa Colo untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri. Pelaksanaan tradisi setelah 1 minggu hari raya idul fitri. Kegiatan ini diadakan atas dasar rasa syukur masyarakat Colo yang telah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.
7. Kearifan Lokal Resik-Resik Sendang dan Nyiwer Desa
Desa Wonosoco
berbatasan dengan sebelah timur Pati dan Grobogan ( selatan ). Selain alamnya
yang indah desa di Kecamatan Undaan ( 22 km selatan Kota Kudus ). Prosesi
ritual adat resik-resik sendang digelar warga Desa Wonosoco dengan mengarak
hasil bumi keliling kampung menuju sendang. Dilakukan setahun sekali yakni satu
bulan jelang Ramadan digelar prosesi resik-resik sendang pada Sendang Dewot dan
Sendang Gading, yang airnya tidak pernah habis. Warga menggantungkan air
sendang untuk minum, masak dan mandi. Oleh Pemerintah Kabupaten acara ini
ditingkatkan dengan melibatkan pemerintah dan tokoh masyarakat, bekerja sama
dengan seniman di Kudus dan Sakapanduwisata. Banyak potensi wisata yang bisa
dikembangkan yaitu bisa digunakan untuk lokasi bumi perkemahan, wanawisata.
Disini juga terdapat pertunjukan wayang klithik dimana dalang harus memiliki
garis keturunan dari dalang sebelumnya. Disebut wayang klithik, karena suara
yang ditimbulkan bunyinya klithik-klithik.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar